Michael J. Abramowitz : The use of paid commentators and political bots to spread government propaganda was pioneered by China and Russia but has now gone global,”
"China dan Russia keduanya merupakan negara pelopor yang menggunakan para komentator bayaran dan parasit politik (dalam internet dan social media) untuk menyebarkan propaganda kekuasaannya, kini hal itu sudah menjadi (ditiru) secara global" ujar Michael J. Abramowitz direktur lembaga nirlaba Freedom House yang memperjuangkan hak kebebasan manusia dalam politik.
Pemahaman kita bahwa internet adalah sebuah ruang dan peluang kebebasan sepertinya selama ini salah. Umat manusia sepertinya sudah kalah start dari pemerintahan dunia dan dunia intelejen dalam mempertahankan haknya disatu satunya ruang teknologi yang bisa menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat tanpa sekat ras,suku, negara bahkan agama. Internet secara bertahap sudah mampu dikendalikan oleh kekuatan kekuatan yang berlatar belakang kekuatan kekuasaan dan modal yang besar untuk memaksakan kehendak.
Sangat mengejutkan sekali saat sebuah lembaga nirlaba yang memperjuangkan kebebasan universal yaitu Freedom house merilis laporan tentang kebebasan didunia internet (Freedom of the Net. 2017). Dikatakan bahwa pemerintahan dunia kini secra dramatis meningkatkan usaha mereka untuk memanipulasi informasi dalam social media. Tidak puas sampai disitu, pemerintahan dunia juga berusaha menghancurkan citra,reputasi dan gagasan bahwa internet dan social media adalah teknologi yang membebaskan, pemerintahan pemerintahan seperti itu tanpa lelah selalu membohongi public bahwa social media adalah sumber hoax,fitnah dan anti negara.
Freedom house melaporkan bahwa dalam tahun 2017 ini saja, manipulasi dan kebohongan informasi mengambil peranan signifikan dalam pemilihan umum di 18 negara didunia.
Hal ini menghancurkan kemampuan warga negara dalam memilih para pemimpinnya berdasarkan berita yang benar, isu yang objektif dan debat yang autentik. Salah seorang direktur Freedom of Net. Project Sanja Kelly menyatakan : Pemerintahan saat ini menggunakan sosial media untuk menekan perbedaan pendapat dan mengkampanyekan agenda antidemokrasi.
Manipulasi yang dijalankan pemerintahan ini sulit dideteksi, lebih sulit melawan manipulasi jenis ini ketimbang jenis lainnya, karena penyebarannya melibatkan banyak dari rakyatnya sendiri dan bots/akun akun buatan yang diciptakan pemerintah. Pembuatan dukungan akar rumput untuk kebijakan pemerintah di media sosial menciptakan lingkaran tertutup di mana rezim pada dasarnya mendukung dirinya sendiri. Selain mendukung dirinya sendiri, pemerintah seperti itu juga mengasihani dirinya sendiri (playing victim) dan mengisolasi warga negaranya menjadi benar benar berada diluar permainan dan tidak mampu melaksanakan hak hak merek secara normal.
Negara yang paling buruk dalam reputasi kebebasan internet adalah China, Russia dan Ethiopia, mungkin Ethiopia kita tidak jadikan pertimbangan karena posisinya yang kurang penting dalam percaturan geopolitik. Dalam dunia Islam, negara negara yang berkarakter dominator dan manipulative dalam internet menurut Freedom for Net 2017 terbagi tiga yaitu terburuk, buruk dan negara negara Islam yang tidak disurvei karena tidak memiliki jumlah yang signifikan dalam pemakaian internet.
Yang terburuk adalah Saudi Arabia, Suriah,Iran, Emirat Arab, Bahrain dan Mesir. Yang buruk adalah Indonesia, Malaysia, Jordania, Bangladesh dan Maroko. Turki dan Libya menjadi kontroversial karena katagorisasi buruk oleh Freedom of net 2017 dikritisi secara luas oleh aktifis demokrasi Arab karena disana terjadi polarisasi tajam antara dua kubu politik dan masing masing kubu memiliki kekuatan relatif yang sama. Turki justru membela gerakan demokratisasi di Arab, dan Libya memiliki pemerintah ganda.
Russia dan China memiliki karakter keburukan reputasi tersendiri dalam dunia internet, Russia adalah pelopor strategi "internet militia" (milisi internet) dengan konsep dan jaringan komando yang menjadi soko guru bagi pemerintahan dunia dalam menguasai dan memanipulasi internet. Adapun China adalah eksekutor terbesar didunia dalam penindasan internet termasuk mengendalikan negara negara lain yang bersekutu dengannya.
Ada sebuah cerita menarik mengenai manipulasi social media di Russia yang menjadi berita heboh dibarat karena kesuksessannya mempengaruhi perimbangan kekuatan politik dalam Pilpres di Amerika. Bermula dari sebuah akun twitter yang digambarkan pemiliknya adalah seorang wanita yang sangat seksi bernama Jenna Abrams. Slogan akun ini cukup bombastis : " Politics is circus of hypocrisy" (Politik adalah sirkus kemunafikan). Akun ini memiliki followers hingga 70 ribu followers,narasi yang dominan dalam akun itu adalah kebebasan adalah ancaman bernegara, akun ini sangat popular dikalangan ultra nasionalis di Amerika. Hal ini sejalan dengan kampanye Donald Trump membawa isu nasionalisme untuk menjadikan Amerika "Great again" (kembali besar seperti dahulu). Terjadi kejadian aneh, akun popular ini tiba tiba ditutup setelah koran Guardian Inggris mengungkap bahwa sosok Jenna Abrams adalah sosok palsu dan akun ini memiliki link langsung ke presiden Russia Vladimir Putin.
51 persen dari akun follower akun twitter Donald Trump adalah bots atau palsu. Obama mengingatkan Zuckerberg bahwa Facebook sudah digunakan untuk kampanye hitam yag menyerang Hillary Clinton dan Alphabet (induk dari Google dan Youtube) mengakui bahwa telah terjadi transaksi iklan online Google dan Youtube untuk kampanye terselubungnya kubu Trump. Segala bentuk serangan internet dari segala penjuru mengakibatkan hanya 58 persen dari rakyat Amerika yang ikut pemilihan, kebanyakan menjadi golput karena tokoh dukungannya Hillary Clinton reputasinya sudah dihancurkan oleh jaringan perekaya kemanangan Trump yang berasal dari Amerika dan intelejen Russia.
Kehancuran reputasi Hillary dipicu oleh aksi hacker "Guccifer 2.0" yang membobol email Hillary dengan jaringan pendukung dari dunia bisnis dan perbankan, dan disebarkan lewat akun akun palsu dan jaringan preman internetnya Russia dan Trump. Padahal, semua maklum akan dukungan bisnis dan perbankan dalam pemilihan Presiden di Amerika. Skandal ini diendus oleh FBI sejak Juli 2016 dan ditegaskan oleh CIA pada November 2016 bahwa ada peranan hacker Russia untuk memperlemah peluang Hillary menjadi presiden, lebih menukik lagi CIA menyatakan bahwa Vladimir Putin terlibat langsung dalam operasi ini. Saat Trump menjadi presiden, direktur FBI dan CIA dipecat.
Dalam berbagai forum Jokowi tidak jarang berpidato (termasuk saat berpidato di pondok Gontor) yang mengesankan pemeranan dirinya dalam playing victim dalam setiap fenomena bully di social media, ini menciptakan keuntungan ganda yaitu pencitraan dirinya dan penciptaan opini buruk mengenai social media. Akun akun pendukung pemerintahan Jokowi adalah kelompok yang sangat didukung penguasa, mereka secara berkala diundang ke Istana Presiden untuk dukungan moril, dalam media media besar di Indonesia para klub netizen pendukung Jokowi selalu digambarkan sebagai pembela dan patriot negara. Sementara akun akun dan tokoh tokoh didalamnya yang kritis terhadap pemerintah dikriminalisasi lewat belalai kekuasaannya di kepolisian, mereka digambarkan sebagai ancaman negara dan bangsa dimedia media besar, dan pergerakan mereka benar benar berdiri diatas kakinya sendiri seperti Muslim Cyber Community.
Dari sini kita bisa melihat mengapa antara Trump, Putin, Partai Komunis China dan sekutu sekutunya saling bekerjasama untuk mempertahankan kekuasaannya dengan memanipulasi internet. Mereka ingin menghancurkan kebebasan bagi manusia dan memberikan ruang yang luas bagi para dictator dan konglomerat dunia untuk mengeksploitasi manusia untuk kepentingan mereka.